Minggu, 26 Februari 2012

Union Busting

Dalam pandangan kaum modal, pilihan dan tuntutan utama hidupnya tidak ada yang lain kecuali terjadinya akumulasi keuntungan,
berlipatnya modal berjuta kali tanpa peduli cara apa yang ditempuhnya. Cara tidaklah penting asalkan keuntungan bertambah semakin menggunung. Demikian logika pikir pemodal, kaum kapitalis, kekuatan neolib yang sialnya menjadi pilar utama rezim penguasa hari ini, melanjutkan rezim sebelumnya yang juga berpihak pada kekuatan yang sama. Maka logika pikir selanjutnya adalah menempuh langkah paling mudah, jalan pintas untuk memberangus kekuatan apapun , kekuatan siapapun yang diyakini akan mengurangi keuntungan mereka.
Jaman sekarang, ketika teknologi baru tak lagi ditemukan seperti jaman awal revolusi Industri, maka pilihan lain yang jauh lebih pintas tentu saja dengan memeras keringat buruh menjadi lebih kering, seperti handuk. Kalau perlu ciptakan mesin pemeras keringat buruh dan mesin penghisap darah yang masih mengalir dalam nadi buruh. Mesin itu, atas sogokan kaum modal kemudian diloloskan oleh parlemen atas inisiatif pemerintah melalui lahirnya undang-undang penindas buruh, apapun namanya, siapapun pencetusnya. Maka, tentu saja mereka akan menempuh jalur khusus ini. Memeras keringat buruh, memperhebat penindasannya.

Negara adalah Aktor Utamanya
Pengusaha hanya berpikir menumpuk akumulasi keuntungannya. Tapi, ketika niat itu akan dijalankan, maka mereka berpikir masih ada kekuatan yang berpotensi menghadangnya, yakni serikat buruh. Maka diciptakanlah berbagai mekanisme untuk memberangus serikat buruh, baik secara jalan halus atau jalan paling kasar sekalipun. Inilah yang kemudian disebut sebagai union busting, pemberangusan hak dasar berserikat. Sekretaris KSN (Komite Solidaritas Nasional), Sulis pernah mengatakan, “Dalam pandangan kami, setidaknya ada 15 macam cara yang biasa dilakukan untuk memberangus serikat. Di antaranya yang paling nyata adalah dengan cara intimidasi, mutasi, PHK, pembentukan serikat boneka pro perusahaan dan perubahan status hubungan kerja buruh menjadi kontrak outsourcing. Aktornya bermacam-macam, mulai dari keterlibatan negara sampai preman yang dipergunakan untuk meneror buruh.“

Keterlibatan negara, sangat nyata dalam bentuk lahirnya UU 21 tahun 2000 yang sangat liberal. Meski ketika lahirnya UU ini kemudian membuat buruh bebas berserikat, namun kemudian ternyata lahirnya UU ini justru melahirkan perpecahan yang sangat dahsyat. Salah satu contohnya adalah kemudahan membentuk serikat hanya dengan 10 orang kemudian membuat pengusaha bisa saja membuat serikat boneka untuk menandingi serikat buruh yang kritis di pabrik. Serikat boneka ini kemudian dijadikan alat legitimasi untuk menolak serikat yang lahir dari aspirasi buruh secara nyata. Semangat ini, sangat terkait dengan lahirnya paket undang-undang perburuhan Indonesia sebagai hasil desakan rentenir internasional. Mulai dari UU Ketenagkerjaan 13 tahun 2003 yang lahir pada jaman pemerintahan Megawati dan kemudian akan diperburuk melalui revisinya oleh pemerintahan SBY-JK meski gagal karena perlawanan kaum buruh. Kemudian UU 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh dan ditutup dengan paripurna oleh UU no 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

Untuk lebih mudah, mari kita lihat ilustrasi berikut ini yang secara sistematis memang digunakan untuk melemahkan buruh dan serikat buruh. Undang-Undang 13 tahun 2003 menyatakan bahwa untuk berunding membahas Perjanjian Kerja Bersama, maka dibutuhkan syarat keanggotaan serikat buruh minimal 50 % + 1. Dengan syarat itu, sebuah serikat dinyatakan memiliki legitimasi untuk berunding. Lalu UU 21 tahun 2000 yang mensyaratkan pembentukan serikat buruh dapat dibentuk hanya dengan 10 orang memungkinkan terbentuknya serikat dalam jumlah yang banyak di pabrik sehingga tidak ada yang mayoritas dan tidak ada yang berhak menjadi tim perunding PKB. Ketika serikat buruh di pabrik bertengkar untuk menentukan siapa yang paling berhak untuk berunding PKB, maka negara memberikan mekanismenya melalui UU 2 tahun 2004 tentang PPHI. Salah satu perselisihan yang bisa di PHI-kan adalah perselisihan antar serikat buruh. Jadi, sedemikian sempurnanya negara membuat kotak perangkap agar buruh menjadi lemah.
Dan, ketika dikaitkan dengan kepentingan kaum modal yang berkehendak memeras keringat buruh, menghisap darahnya dan menjadikan buruh sebagai sapi perahan untuk menaikkan keuntungannya, maka jalan pintas murahnya adalah dengan memberangus serikat buruh. Sebutlah cara mem-PHK buruh dan kemudian diikuti dengan mengubah status hubungan kerja menjadi kontrak outsourcing, maka secara otomatis akan berpengaruh pada semangat dan militansi buruh dalam berserikat. Tentu saja karena “pragmatisme” buruh yang dalam status kontrak outsourcing akan sangat mudah di-PHK, apalagi ketika kemudian dia aktif berserikat. Dan di samping aktor-aktor lain yang sangat banyak itu, negara adalah aktor yang paling utama.

Lawan Union Busting

Atas tindakan yang dilakukan oleh berbagai aktor dalam union busting tersebut, sebagaimana yang diserukan oleh KSN maka hanya ada satu cara untuk menghentikan union busting yaitu dengan melawan Union Busting! Tidak ada cara lain. Tidak ada cara kompromi, lobby dan negosiasi. Logikanya kenapa kita tidak bisa kompromi, lobby dan negosiasi tentu saja didasarkan pada watak dasar kaum kapitalis yang hanya berkepentingan menumpuk akumulasi keuntungan kekayaannya sehingga tidaklah mungkin mereka bersedia dengan sukarela meluluskan tuntutan yang pada gilirannya akan membuat keuntungan mereka berkurang, bahkan tidak mungkin akan beralih kepemilikan dikuasai buruhnya. Maka, cara yang paling ampuh adalah justru dengan membangun kekuatan serikat buruh dan kemudian melakukan perlawanan.
“Union Busting, sudah berlangsung sangat lama di Indonesia misalnya saja dengan stigma komunis sebagaimana yang dilakukan oleh Orde Baru, maka cara ampuhnya bukan dengan bersembunyi namun justru keluar dari persembunyian dan menyatakan proklamasi perlawanan. Semangat itu, berarti bahwa perlawanan terhadap segala bentuk penindasan buruh harus dilakukan dengan membangun kekuatan buruh itu sendiri, bukan kekuatan orang lain karena sejatinya buruh yang merasakan penindasanlah yang bisa merasakan betapa sakitnya ditindas dan kemudian bangkit melawan,” demikian tandas Nur Cholis Hidayat Direktur LBH Jakarta.

Tentu saja, perjuangan dan perlawanan terhadap union busting juga dapat disandarkan pada ketentuan undang-undang sebagaimana yang dinyatakan dalam Konvensi ILO no. 87 yang menyatakan bahwa: buruh yang berserikat, bebas dari ancaman pemecatan dan skorsing tanpa proses yang jelas atau mendapatkan kesempatan untuk mengadukan ke badan hukum yang independen dan tidak berpihak. Cara ini, tentu saja sebagaimana yang dipraktekkan oleh buruh PT. King Jim di Jawa Timur yang tergabung dalam ABM, dimana KASBI Jatim dan DPW FSPMI Jawa Timur menjadi motor penggeraknya ketika mereka berhasil memenjarakan pengusaha Korea yang anti serikat. Jadi, memenjarakan pengusaha atau siapapun yang anti serikat adalah hal yang mungkin dan sudah terbukti, tapi tetap saja syaratnya harus dengan membangun kekuatan buruh itu sendiri melalui serikat buruh yang kuat. “Untuk mendukung perjuangan melalui jalur hukum, maka tidak ada pilihan lain kecuali menjadikan kekuatan aksi massa buruh sebagai pilihan,” kata Koordinator Advokasi KASBI Jatim yang memiliki peran sangat vital dalam advokasi kasus King Jim Jawa Timur ini memberikan testimoninya.

Kenapa melalui aksi massa dan pembangunan kekuatan organisasi buruh? Karena instansi negara semisal kepolisian dan menteri tenaga kerja yang seharusnya memberikan perlindungan, memang sama sekali tidak memiliki komitmen untuk menegakkan hukum. Terbukti, Polri selalu menolak pengaduan kasus union busting dengan alasan belum ada juklaknya, sementara meski telah berganti dengan menteri baru tapi sepertinya gelagatnya akan sama saja. Diam tak bertindak jelas.

Jadi, meskipun union busting memang sangat berat memberangus serikat buruh namun setidaknya perlawanan terhadap Union Busting sebagaimana yang diproklamasikan KSN, menjadi oase penyegar bagi upaya melakukan perlawanan terhadap union busting itu. Maka, persatuan massa buruh dalam arti sebenarnya, tanpa terpengaruh kepentingan elit serikat buruh yang pragmatis adalah sebuah keharusan. Apalagi isu santernya, berkenaan dengan masa 100 hari kekuasannya, SBY terlihat begitu bersemangat mengulang kembali mimpi lamanya untuk segera merevisi UU 13 tahun 2003, bahkan termasuk di dalamnya juga akan merevisi undang-undang serikat buruh. Tanpa persatuan, ini alamat buruk bagi buruh.

HUMAS DPP SP PT PLN (Persero)